Sawahlunto: Kota Kuali yang Tidak Lagi Mati

Lihatlah Belanda Kecil. Mereka yang terpasung dengan Belenggu. Mereka yang menderita demi peradaban. Mereka yang melawan untuk sebuah kejayaan. Hari ini dunia berubah.  Kota arang terlihat begitu damai.

Surya sibuk mengulek pecel untuk langganannya. Sudah beberapa tahun belakangan ini, Surya menjajakan makanan yang terdiri atas sayuran, seperti kacang panjang, ayam, taoge yang disiram dengan kuah sambal kacang di Sawahlunto.

“Di sini cuma rame kalau Minggu,” ujarnya.

Sambil terus melakukan pekerjaan, perempuan separuh baya ini menceritakan tentang pengalaman hidup di Sawahlunto, kota yang juga dikenal dengan Kota Arang. Selain Kota Arang, Sawahlunto juga dikenal dengan sebutan Kota Kuali. Alasannya, karena di sana terdapat sebuah lobang besar hasil pengambilan tambang batubara yang berbentuk kuali.

“Dulu, di sini rame. Banyak orang luar yang datang untuk bekerja sebagai penambang. Namun, setelah tahun 2000 kebanyakan dari mereka meninggalkan kota ini. Pertambangan batubara dihentikan,” kata Surya sembari memasukkan kacang sebagai bumbu tambahan ke dalam ulekan.

Surya sendiri mengaku sejak pertambangan batubara tidak bisa diproduksi lagi, kehidupan masyarakat setempat sangat kacau. Banyak yang ‘lari’ ke pulau Jawa dan Kalimantan untuk mencari pekerjaan baru. Kejadian ini terus berlangsung hingga Amran Nur, Walikota Sawahlunto yang terpilih tahun 2003 lalu mengambil sikap terhadap kota yang semakin sepi.

Ia menceritakan bagaimana ia harus merelakan rumahnya pindah ke lokasi lain untuk tujuan wisata. Lokasi tempat gedung Info Box yang kini berdiri adalah lahan bekas rumahnya dulu. Setelah mereka mendapat uang ganti, mereka baru pindah ke lokasi lain tidak jauh dari rumah sebelumnya.

Info Box sendiri adalah bangunan yang baru dibangun oleh pemerintah Kota Sawahlunto sebagai tempat penyajian informasi tentang peninggalan sejarah. Tempat ini juga dijadikan sebagai galeri tambang batubara. Ini terlihat dari banyaknya foto-foto masa lalu dan beberapa pajangan informasi sejarah di dinding-dinding bangunan.

Setelah Info Box berdiri, pemerintah membangun sejumlah toko di dekat bangunan tersebut. Di sana ada kantin Dela Surya yang menjual pecel dan minuman ringan, Galeri Kota Sawahlunto, toko kerajinan tangan, dan beberapa bangunan lain.

“Kantin ini tidak disewakan. Kami mendapatnya secara gratis untuk melayani wisatawan,” ungkap Surya sambil menunjukkan plang yang bertuliskan “Kantin Dela Surya” miliknya.

Tepat di belakang kantin Dela Surya, terdapat sebuah torowongan yang dinamakan Lobang Suro. Syahdan, terowongan ini merupakan salah satu dari sekian ratus bangunan bersejarah yang ditinggalkan kolonial Belanda. Lobang Suro ini merupakan lobang batubara pertama yang dibuat oleh orang-orang rantai pada tahun 1898. Kata “Suro“ sendiri diambil dari nama seorang mandor yang mengawasi penggalian lobang ini. Namanya adalah Mbah Surono.

Orang-orang rantai di sini adalah tahanan yang didatangkan dari pulau Jawa . Mereka diharuskan kerja paksa. Kaki, badan, dan tangan dirantai. Mereka hidup dalam penjara dan hanya menerima upah rendah untuk pekerjaan yang mereka geluti setiap hari.

Sebelum memasuki lobang ini kita akan mendapati tiga patung yang mengambarkan kondisi penggalian pada masa itu. Sebuah patung yang berdiri gagah sambil menggunakan stelan baju zaman kolonial dan memegang tongkat mengawasi dua pekerja yang sedang mendorong lori (gerobak) yang berisi batubara.

“Dulu lobang ini ditutup karena dianggap berbahaya. Airnya penuh hingga mencapai atas,” ujar Willison, penjaga sekaligus guide untuk masuk ke dalam torowongan. Sambil terus turun ke bawah, Wil banyak menjelaskan tentang Lobang Suro. Dari gaya dia bicara, rasanya sudah berpengalaman banyak terhadap profesi ini.

“Awal tahun 2007 pemerintah berinisiatif membuka kembali lobang ini. Kita butuh waktu 23 hari tanpa henti untuk menyedot semua air dalam lobang,” katanya lagi.

Lantai yang dulunya rel tempat berjalannya lori disulap menjadi tangga-tangga yang terbuat dari semen. Ini bertujuan agar pengunjung tidak jatuh. Terowongan yang mempunyai tinggi sekitar dua meter ini masih dihiasi batubara asli di dinding-dindingnya.

Kondisi di dalam terowongan cukup gelap sebenarnya mengingat berada di bawah tanah. Tapi pemerintah telah memasang beberapa lampu disetiap sudut yang dianggap pas. “Sementara ini jarak terowongan yang diperbolehkan untuk dikunjungi adalah 186 meter,” katanya lagi.

Terowongan ini sebenarnya bisa tembus kedua tempat berbeda. Satu ke gudang ransum— tempat dapur umum berada—dan satu lagi tembus ke gedung Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang kini dibangun Masjid Agung Nurul Islam.

Tidak jauh dari Masjid Agung, kita akan menemukan sebuah museum kereta api. Dulu, museum ini adalah stasiun kereta api yang dibangun oleh kolonial Belanda pada tahun 1918.

Afrijal sedang mengamati Mak Itam—satu-satunya kereta api yang masih berfungsi hingga sekarang—ketika saya temui. Sebenarnya dia hanya pegawai PT Telkom yang suka jalan-jalan sekitar museum saat jam istirahat kantor.

“Sejak 1894 kereta api ini dulu mengangkut batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Teluk Bayur,” katanya. Tidak hanya Afrijal, kebanyakan dari penduduk yang saya jumpai mampu menjelaskan sejarah dan kejadian masa lampau secara detail tentang kota ini.

Bukan saja Mak Itam dan Lobang Suro yang membuat kota ini unik. Kalau kita berdiri dari atas Bukit Cemara atau sekedar mengelilingi kota, rasanya kita memang sedang berada dalam “Belanda Kecil”. Sebagian bangunannya masih asli dan berarsitektur Belanda. Rumah, hotel, toko, gereja, dan beberapa bangunan pemerintahan lainnya.

Pagi itu, minggu kedua dibulan Juni tahun lalu Amran Nur menjabat erat tangan saya. Kami bertemu di gedung SDLB kabupaten tersebut. Selain Kepala Dinas Pariwisata, Tun Huseno, Amran Nur ikut datang. Dia senang menjelaskan tentang kotanya kepada tamu yang datang dari luar provinsi. Dia sendiri cerita tentang asal muasal Sawahlunto.

Pada abad ke-19 nama kota ini mencuat kepermukaan dunia internasional, terutama Belanda yang saat itu sedang melakukan penjajahan di negeri ini. Seorang arkeolog Belanda bernama Willem Hendrik de Greve menemukan potensi batubara yang cukup besar di sungai Ombilin, salah satu sungai di kota itu. Temuan itu dilaporkan ke Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1868-1872. Penelitian kedua gagal dilakukan lantaran Greve terseret arus Sungai Ombilin dan meninggal pada 22 Oktober 1872.

Singkat cerita, penambangan batu bara mulai dikerjakan Belanda tahun 1880 di lapangan Sungai Durian. Tahun 1892, produksi perdana batu bara Sawahlunto mencapai 48.000 ton. Pengangkutan batu bara ketika itu menggunakan kereta api. Salah satu kereta api yang digunakan adalah Mak Itam.

Kejayaan tambang batu bara zaman Belanda masih tersisa dalam sejumlah bangunan, seperti silo. Silo berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Silo masih berdiri kokoh di tengah kota ini kendati tidak berfungsi apa-apa selain sebagai monumen yang mengingatkan kejayaan batu bara di Sawahlunto ketika itu.

Inilah Belanda Kecil, kota tempat orang-orang rantai dulunya dibantai. Tempat moyang kita menderita. Kini mereka berhasil mengemasnya menjadi sebuah peninggalan sejarah yang memukau. Berhasil meningkatkan peradaban tentang marwah negara kita. Kota Arang yang jaya dengan batubara. Amran Nur berhasil membuktikan bahwa kini Kota Kuali, bukan lagi kota mati!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top